Teknologi animasi 3D telah mengalami perkembangan pesat dalam dua puluh tahun terakhir. Kita menyaksikan kedahsyatannya di sejumlah film live action seperti Pacific Rim (2013) ataupun film-film Marvel Cinematic Universe, yang dalam proses pengerjaannya membutuhkan keterampilan dan kerjasama yang matang dari tim animator. Dari sejumlah animator yang terlibat, salah seorang diantaranya ialah Ronny Gani.
Ronny Gani ialah seorang Senior Animator di Industrial Light & Magic (ILM) yang berbasis di SIngapura. Dengan lebih dari 11 tahun pengalaman di industri animasi, ia turut terlibat dalam penggarapan film Avengers (2012), Pacific Rim (2013), Noah (2014), Transformers: Age of Extinction (2014), The Great Wall (2017), Ready Player One (2018), Avengers: Infinity Wars (2018), dan masih banyak lainnya.

Awalnya, Ronny mulai bekerja sebagai animator di Infinite Frameworks Studios Batam dan menggarap film Sing To The Dawn atau Meraih Mimpi. Kemudian ia melanjutkan perjalanan kariernya ke Singapura dan bergabung dengan Lucasfilm Animation pada 2008.
Selain itu, Ronny juga menggagas Bengkel Animasi, sebuah wadah pelatihan bagi para animator tanah air yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas, serta kapasitas animator Indonesia menuju standar yang kompetitif di level internasional.
Mewakili Crafters, saya berkesempatan menghubungi Ronny dan berbincang perihal perjalanan kariernya, lalu mengenai perkembangan industri animasi di Indonesia, dan tujuannya membentuk Bengkel Animasi. Berikut obrolan kami.
Apa yang membuatmu ingin terjun di bidang animasi, sementara latar belakang pendidikanmu arsitektur?
Kalau ditarik ke belakang, sebenarnya passion saya ada di bidang seni. Passion itu ada bahkan sebelum saya masuk kuliah arsitektur. Hanya saja pada saat itu seni masih susah untuk diterima; untuk membangun karier atau mengejar profesi yang art-related masih sulit mengingat kondisi 20 tahun silam.
Waktu itu saya kurang direstui untuk masuk ke jurusan graphic design atau seni rupa dan sejenisnya. Kemudian saya propose bagaimana kalau saya masuk ke jurusan arsitektur karena waktu itu saya pikir artsitektur itu masih ada kaitannya dengan seni.
The way I saw it, architect is a half of engineering and a half of art related. Kemudian saya diperbolehkan masuk ke jurusan arsitek karena dulu dapetnya juga di Universitas Indonesia. Awal mulanya saya senang kuliah di jurusan arsitektur karena bisa mengeksplor banyak hal. Tapi begitu sudah membahas hal-hal yang terlalu teknis, saya kehilangan minat.
Saya termasuk angkatan yang transisi dari analog ke digital. Maksudnya, angkatan sebelum saya itu membuat presentasi masih hand-drawn (gambar tangan) di meja arsitek. Nah, saya dan kawan-kawan saya adalah generasi transisi yang diminta untuk belajar 3D Software demi visualisasi desain. Itu juga kami belajar sendiri karena teknologinya baru dan angkatan sebelumnya belum ada yang bisa menggunakan teknologi tersebut. Kami diharapkan belajar dan mengulik sendiri.
Pada saat mempelajari teknologi tersebut, saya mulai tahu kalau sebenarnya 3D software ini lebih berat dipakai di industri nondesain, seperti animation. Pas tahu seperti itu, saya mulai tertarik untuk menggali lebih dalam. Pada saat itu juga baru muncul film Toy Story dan Shrek. Kedua film itu dampaknya luar biasa bagi masyarakat di masa itu; film-film animasi yang baru dan fresh. Keren banget. Bertepatan dengan proses mengulik 3D software tadi, saya jadi tahu kalau kedua film tersebut memakai software yang saya pelajari untuk pembuatannya. Saya makin tertarik buat belajar lagi.

Waktu itu saya berpikir, “Kalau saya bisa memakai atau mempelajari software tersebut, at a certain level saya bisa masuk ke industrinya, dong?” Lalu saya mulai cari tahu tentang industri animasi. Ternyata memang industrinya sudah besar, terutama di Amerika Serikat. Selain itu di beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia, industri animasinya juga sudah mulai tumbuh.
Di samping itu, yang saya lihat setelah saya masuk ke industri animasi adalah para praktisinya tidak memandang latar belakang. Entah itu latar belakang pendidikan atau kewarganegaraan, selama kita memenuhi seluruh standar perusahaan. Jadi akhirnya saya memutuskan untuk mencoba ini. Walau sudah kehilangan minat, saya tetap menyelesaikan studi saya di arsitektur; tetap lulus dan mendapatkan gelar sarjana, tapi sekaligus mencoba membuka jalur ke arah karier animasi.
Saat mempelajari animasi secara otodidak, apa/siapa saja yang menjadi referensi studimu?
Kebanyakan sih sumber informasinya pada saat itu internet. Again, kalau kita membahas kondisi 20 tahunan yang lalu, internet juga terbatas. Kecepatannya terbatas, sumber informasi dalam internetnya sendiri juga belum sebanyak sekarang. However, it still worked for me back then. Masih mengandalkan internet café; dengan membawa uang Rp 6 ribu untuk browsing selama 3 jam dan download materi, terus di-save di disket, lalu dipelajari dan coba-coba latihan sendiri di rumah.
Kalau lebih spesifiknya siapa tokoh atau figur yang menjadi referensi studi dulu, sebenarnya belum terbayang. Karena saya sendiri pada saat itu masih baru mengetahui tentang industri animasi secara keseluruhan. Belum begitu paham mengenai tokoh atau figur yang sangat berpengaruh. In most cases, inspirasi menggali referensinya datang dari film seperti Toy Story. Saat itu juga mulai bangkit genre 3D animation. Dreamworks juga mulai bikin IP (Intellectual Property) mereka dan studio seperti Blue Sky Studio membuat Ice Age.
Dalam wawancara di Kumparan, kamu mengatakan bahwa “I wasn’t happened by accident but by design.” Bisa dijelaskan maksudnya?
Yang selalu saya sampaikan ke kebanyakan murid-murid yang ingin mencoba untuk masuk ke industri animasi: saya enggak terjadi karena kecelakaan, hoki, atau faktor luck, tapi karena “by design”. Sesuatu yang terjadi “by design” itu berarti ada formula dan konstruksinya, sehingga itu bisa dilipatgandakan. Orang lain kalau mau mengikuti formula dan pola yang sama juga bisa melakukannya. So, what can I do, actually anyone else can also do it.
Di ILM menggarap sejumlah film kenamaan Hollywood seperti The Avengers (2012), Pacific Rim (2013), Noah (2014), Transformers: Age Of Extinction (2014), The Great Wall (2017), Ready Player One (2018) dan Avengers: Infinity Wars (2018). Dari semua film ini, apa animasi paling sulit namun buatmu paling membanggakan?

Semua proyek pada dasarnya memiliki kompleksitas yang unik. Job title saya adalah animator. Berarti, tanggung jawabnya secara spesifik adalah just to animate. Mungkin sedikit brief tentang pipeline di produksi; ada banyak departemen yang terlibat dan salah satunya adalah departemen animasi. Departemen animasi ini hanya bertugas untuk menggerak-gerakkan karakternya; to bring out the performance of a digital character. Karena semua karakter digital dibuatnya melalui komputer, it’s just basically a mathematical calculation done by the computer. So the artistry of an animator comes in to make those digital objects appeal to be alive with certain performances to tell the stories in movie or storytelling. Singkatnya, animator itu seperti aktor di balik layar; seorang dalang dalam pagelaran wayang kulit.
Maksud saya, konteks storytelling yang berbeda-beda di setiap film pasti memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri pula. Cuma kalau ditanya yang mana yang prosesnya paling saya nikmati secara personal ada dua, Pacific Rim (2013) dan Avengers: Endgame (2019).
Kenapa kamu paling menyukai kedua film tersebut?
Kalau Pacific Rim alasannya karena ceritanya sendiri tipikal cerita yang digemari anak laki-laki: big giant robots melawan big giant monsters. Cerita yang sering ditonton semasa kecil banget. Lalu, Avengers: Endgame. Who doesn’t like Marvel? Bangga banget pastinya dan humbling banget bisa terlibat.
Kebetulan juga di film terakhir, saya ikut mengerjakan adegan dinner dan karakter Hulk. Karena pada adegan tersebut Hulk berinteraksi dengan aktor, jadi tantangannya adalah bagaimana menangkap performance Mark Rufallo ke dalam karakter Hulk. Kalau dilihat hasil akhirnya, itu sangat detail mulai dari ekspresi dan performance. Hulk tampak hidup saat kita menonton di layar bioskop, bukan karakter yang digerakkan di balik komputer.
Kamu juga aktif berbagi ilmu mengenai animasi hingga membangun professional training center yang khusus mengajarkan animasi karakter, Bengkel Animasi. Apakah ini sekadar kegiatan yang kamu suka atau ada dorongan besar lain di balik pembentukan Bengkel Animasi?
Inisiatifnya bersumber dari pengalaman pribadi. Pas awal susah mendapatkan sumber informasi, pengetahuan, dan sebagainya. It made me think of what can I do pada saat ini, meskipun sekarang juga saya masih dalam proses belajar untuk menyempurnakan pengetahuan dan artistry-nya. Dalam proses yang sedang berjalan itu, saya berpikir kayaknya tetap bisa berbagi dan memperluas pemahaman terhadap industri animasi itu sendiri.
Orang-orang awam bisa melihat animasi sudah menjadi industri, bukan hanya hobi dan main-main. It’s a fun world, but at the same time there is seriousness in it. Karena ini sudah industri, it can provide a living bagi mereka yang serius ingin menjalani karier di bidang ini.
Di Indonesia sendiri, secara umum sudah banyak studio animasi lokal yang mengerjakan proyek-proyek luar negeri seperti dari Korea dan Taiwan yang sifatnya episodik.
Bengkel Animasi hadir untuk membantu pertumbuhan industri animasi baik dari segi pengetahuan maupun dari penerimaan publik. Makanya kita bergerak di dua area secara umum: di bidang pelatihan dan event. Pelatihan Bengkel Animasi ditujukan bagi mereka yang ingin terjun sebagai animator, mereka akan dibekali pengetahuan dan knowledge mengenai apa saja yang bisa dilakukan untuk berkarier di industri animasi.
Untuk bidang event, kami menghadirkan praktisi dan talent seperti saya, selevel dengan saya, atau mereka yang lebih dari saya; para animator Indonesia yang sudah berkarya di luar namun belum terekspos sama sekali. Saya terpanggil untuk memperkenalkan mereka supaya memperlihatkan bukti dari perkataan saya sebelumnya, “I was not happened by luck.” Udah banyak orang yang melakukan hal sama dan mereka bahkan lebih berhasil dari saya. Contohnya, salah satu animator Indonesia yang hadir di event kemarin sudah menjadi supervisor di perusahaan besar Amerika. I would say he is much higher ranked than me dan dia bukanlah satu-satunya yang berhasil. Ada banyak yang seperti dia.

Nah, kami di Bengkel Animasi ingin membagikan informasi bahwa ada bakat-bakat yang sudah berhasil, agar orang awam dan murid-murid yang sudah mengenal dunia ini lebih terbuka lagi wawasannya. Para pelajar bisa belajar dari para talent, mengambil ilmu mereka, and they make their own pass.
Bagaimana respon masyarakat terhadap Bengkel Animasi?
Respon masyarakat yang sudah berhasil kami dekati sangat baik. Saya bisa merasakan apresiasi mereka. PR kami adalah memperluas cakupan area kami untuk mereka yang belum pernah ikut pelatihan Bengkel Animasi. Sedangkan untuk mereka yang sudah tahu tentang Bengkel Animasi dan pernah ikut training, mereka biasanya menunggu timing dan finansial lantaran kursus kami berbayar.
Bengkel Animasi mengadakan kerja sama dengan beberapa studio animasi di Indonesia. Pasca-pelatihan, kami selalu menyalurkan program internship untuk para peserta, atau jika memungkinkan menjadi junior artist. Ada beberapa orang yang berhasil masuk ke studio animasi tersebut dan mereka memberikan respon yang positif. Meskipun sepertinya kelihatan kecil, namun itulah yang saya dan kawan-kawan di Bengkel Animasi ingin ciptakan; adanya kesinambungan supaya anak-anak muda bisa masuk dan terserap di industri.
Selain dari itu, dilihat dari event terakhir di ICE BSD⎯entah saya bias atau bagaimana⎯saya benar-benar merasakan energi positif yang besar terjadi di sana. Acara Bengkel Animasi tersebut punya konferensi, presentasi, dan pamerannya. Jadi saat waktu istirahat, saya mingle dan melihat bahwa orang-orang yang hadir telah menemukan tempat semestinya mereka berada.
Mungkin sebelum mengadakan event kami, ada pula yang sudah melakukannya seperti BEKRAF dengan acara BEACON, tapi eksekusi dan kontennya berbeda. Ada juga Comicon dan acara-acara yang bersinggungan sedikit dengan animasi, tapi itu pun animasi secara pop culture alih-alih membahas pengetahuan lebih dalam.
Sebagai seorang animator professional yang berkecimpung cukup lama, menurutmu faktor-faktor apa saja sih yang menghambat geliat perkembangan industri animasi di Indonesia?
Salah satunya adalah enggak banyak orang tahu kalau industri animasi kita itu enggak selamban yang orang pikir. Di situ ada PR berat bukan cuma buat saya tapi juga teman-teman praktisi lain, bagaimana kita memperlihatkan kalau ini sudah terjadi. This is already happening.
Saat kita bicara industri animasi, kita tak hanya membicarakan film animasi saja tapi juga industri games, visual effect seperti yang kita lihat mulai diaplikasikan di film-film semacam Gundala dan Wiro Sableng, dan film animasi sendiri yang memproduksi film atau serial televisi. Kalau dibilang ‘lamban’, ‘lamban’ itu sendiri seperti apa? Apakah kamu tahu kalau di Yogya ada sebuah perusahaan game luar negeri yang memiliki karyawan sebanyak 700 orang? Apakah itu lamban? Itu baru satu lokasi. Ada juga perusahaan game berbasis di Bandung yang salah satunya mengeluarkan game horor DreadOut⎯sangat terkenal di dunia internasional dan telah diadaptasi menjadi film.
Di Batam ada perusahaan yang rata-rata jumlah karyawannya 200 orang. Di Jakarta, ada kurang lebih 10 studio dari mulai yang kecil dan besar dengan jumlah karyawan 20 sampai lebih dari 100 orang. Ada juga studio animasi lokal di Yogya dengan jumlah karyawan 100 orang. Di Bali juga ada perusahaan dengan total karyawan sejumlah 200 orang.
industrinya sendiri sudah bergerak. Seandainya informasi ini tersebar dan banyak orang awam tahu kalau ini bisa jadi pilihan karier, pasti mereka akan mencoba. Mereka enggak akan memaksakan diri untuk melakukan karier yang sifatnya enggak cocok dengan karakter mereka.
Dari segi pendapatan, saya bisa bilang karier di dunia animasi bisa bersaing dengan industri lain pada umumnya. Tapi bukan berarti kamu membandingkan dengan profesi yang bisa mendapatkan duit yang banyak. Kalau memang arahnya mencari uang, ya cari duit aja. Yang mau kami sampaikan adalah. if you are a creative person, there is a place inside this industry that can provide you a decent living in terms of financial.
Being a good artist in the industry is not only about your skill, but can you work in a team or not?
Berarti industri animasi sudah sustainable, ya?
Sudah sangat sustain. Bahkan sekarang kondisinya adalah kesulitan mencari tenaga kerja. Sedangkan perputaran SDM dalam industri animasi sangat cepat; yang sudah terjun bisa melompat-lompat dari studio satu ke studio lainnya. Cuma intake generasi barunya itu sangat minim. Itu kan jadinya sebuah risiko terhadap sustainability industrinya sendiri.
Bicara soal dunia professional, apa tantangan / plus minus bekerja dengan klien dan rekan kerja yang bukan WNI?
Dalam industri animasi dan dengan latar belakang budaya yang beragam dari masing-masing orang, kita bukan cuma ngomongin kemampuan tapi juga soal attitude. Being a good artist in the industry is not only about your skill, but can you work in a team or not?
Bidang ini masih berhubungan erat dengan seni. Jadi sensitivitas senimannya kadang terlalu berlebihan. Banyak gesekan yang terjadi khususnya mereka yang baru terjun di bidang ini. Mungkin karena mereka masih belum bisa mengubah pola pikir mereka bahwa mereka telah memasuki area professional. Meskipun santai, pakai celana pendek dan sandal jepit, but when it comes to work it’s all professional. You need to deliver what you need to deliver. And it involves a lot of receiving critics and reviews.
Kebanyakan anak muda cenderung mudah kesal saat menerima kritik. Jadi, untuk kalian yang ingin masuk ke industri ini, siapkan diri untuk menerima kritik dan jangan jadikan itu masalah personal. It’s all about making the works better and better.
Apa goal kamu untuk karier ke depannya?
Saya sendiri masih tetap ingin berkarya dan berkarier. At the same time, saya berharap bisa semakin mengembangkan Bengkel Animasi, membantu industri animasi dan computer graphic di Indonesia agar bertumbuh-kembang.
Ada saran yang dapat kamu berikan bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan untuk sekolah atau tidak memiliki latar belakang pendidikan animasi, tapi ingin berkecimpung di dunia ini dan membangun portofolio?
Balik lagi ke pernyataan saya yang tadi. Everything is not occurred by luck but by design. Mungkin ada orang-orang yang seperti saya, tapi kita masing-masing punya backstory yang berbeda. Nah, yang teman-teman atau yang adik-adik harus pelajari adalah pola dan attitude-nya, bagaimana dalam meraih mimpi dan cita-cita mengejar profesi di industri ini. How to grow yourself in terms of anything; social, skill, and professionalism.
Menyoal membangun portofolio, kamu harus mencari tahu dulu kesempatannya itu bisa ke mana saja. Akan terlalu naif jika kamu yang tinggal di Indonesia dengan tanpa pengalaman dan persiapan apapun ingin masuk Pixar. Kamu harus realistis. Saya enggak melarang kamu bekerja di Pixar, tapi apakah mungkin kamu setelah lulus ujug-ujug bisa masuk perusahaan itu? Apalagi dengan latar belakang pendidikan yang bukan animasi. Itu kan enggak mungkin. Meski demikian, tetap pertahankan mimpi itu. Saat mimpimu sudah jelas, langkah selanjutnya adalah bagaimana breakdown mimpi itu. How do you break down those mountains into staircase? Supaya kamu bisa melaksanakan proses menuju ke sananya.
Yang paling bisa kamu lakukan sedari dini adalah mencari tahu studio animasi yang ada di sekitar kamu. Kemudian cari tahu karya-karya animator yang kerja di studio animasi sekitaran kamu. Lalu jadikan karya mereka sebagai benchmark. Buatlah karya yang setara dan kalau bisa lebih tinggi lagi sehingga dapat menyaingi karya mereka. Dengan demikian kamu mempunyai blueprint yang kokoh.
Meskipun santai, pakai celana pendek dan sandal jepit, but when it comes to work it’s all professional. You need to deliver what you need to deliver. And it involves a lot of receiving critics and reviews.

Sumber: crafters.getcraft.com