Desember lalu, saya sedang membuka media sosial Twitter karena bosan menunggu teman yang tidak kunjung datang. Lalu, timeline saya tiba-tiba ramai oleh cuitan-cuitan soal sebuah nisan berbentuk salib yang di potong bagian atasnya, hingga pada akhirnya hanya berbentuk seperti huruf T. Kejadian viral ini terjadi di Kotagede, Yogyakarta–kota asal keluarga saya, kota saya untuk pulang kampung setiap tahunnya.
Hal ini tentu mengganggu perasaan saya kala itu. Isu-isu agama, sosial, dan politik beberapa tahun ini rasanya semakin panas saja, apalagi setelah semua orang memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat di atas sebuah platform yang secara literal bisa diakses oleh siapa pun–asal punya kuota dan akses internet.

Di saat itu, saya merasa ikut marah dan terpancing untuk menyuarakan kegelisahan saya, tanpa tahu cara yang tepat. Tidak lama setelah itu, saya melihat sebuah karya ilustrasi yang diunggah oleh kartunis dan komikus bernama Reza Mustar atau yang lebih dikenal dengan nama Komikazer. Lewat ilustrasinya yang minimalis dan simbolis, Azer, panggilan akrabnya, mampu menyampaikan maksud kritik, rasa sedih, serta gundahnya perasaan orang yang terganggu oleh kejadian tragis tersebut. Gambar ini saya lihat ramai di-repost orang-orang lain yang tentunya merasakan apa yang saya rasakan saat itu.
Pada saat itu juga, saya sadar betul soal pentingnya peran para kreator, seniman–utamanya para kartunis/komikus, dalam merespon isu yang meresahkan. “Saya tidak mengajak audiens atau masyarakat untuk menjadi responsif dan vokal, saya hanya mengangkat hal-hal yang menurut saya perlu dan penting untuk diketahui oleh mereka,” jelas Azer saat saya wawancarai. Selebihnya, menanggapi viral-nya respon para audiens akan karyanya, ia merasa itu bukanlah kuasanya.
Selain di Twitter, Komikazer juga dikenal di Instagram karena pendistribusian karya-karyanya lewat akunnya. Bahkan, di pemilu presiden lalu, Azer berkesempatan berkolaborasi dengan Instagram untuk membuat serangkaian “sticker” yang dapat digunakan para pengguna dalam rangka ajakan menyuarakan suaranya dalam pemilu.
Beruntung, lewat Crafters, saya berkesempatan mewawancarai Komikazer lebih jauh soal karya, pandangan, serta inspirasinya.
Cerita Pengkaryaan Komikazer
Saya sendiri kadang bertanya-tanya, untuk seorang ilustrator seperti Azer yang mendapatkan sebuah privilege dalam menyampaikan sesuatu lewat karya dan kemudian dilihat oleh banyak audiens, apa sih rasanya? Apalagi, Komikazer sendiri sering membuat karya-karya yang menyentil dan kritis soal isu-isu besar di Indonesia.
“Membuat kartun/komik bagi saya sekarang itu sudah menjadi suatu kebutuhan dan kewajiban, karena profesi saya sekarang ialah kartunis/seniman. Saya berkewajiban juga untuk merekam atau menangkap situasi serta kondisi yang sedang terjadi di masyarakat dan mengeluarkannya sebagai karya kartun/komik,” ungkapnya pada saya.

Nah, jika bicara soal privilege untuk menunjukkan karyanya pada audiens dengan jumlah besar yang saat ini ia miliki (Komikazer memiliki lebih dari 150.000 followers di Instagram dan 20.000 followers di Twitter), Azer malah merasa semakin bertanggung jawab untuk membuat sebuah karya yang bisa diterima segala kalangan dan usia. Dari jawabannya ini, kita semua bisa menyimpulkan bahwa Azer amat berhati-hati untuk bermedia sosial dengan segala privilege yang ia miliki tersebut.
Azer selama ini dengan cerdik, teliti, dan kreatif, berhasil menyampaikan konten kritiknya akan isu yang mengganggunya lewat ilustrasi/visual yang ramah bagi semua kalangan dan usia. Kalau bicara soal edukasi isu yang ia angkat, seperti yang dikatakan Azer tadi: “Bagaimana respon dan reaksi mereka itu balik lagi ke personal masing-masing.”

Saya berkewajiban juga untuk merekam atau menangkap situasi serta kondisi yang sedang terjadi di masyarakat dan mengeluarkannya sebagai karya kartun/komik.
Telah berkegiatan seni selama bertahun-tahun dan menggarap banyak project serta pameran, Azer menjelaskan bahwa ada satu pameran yang amat berkesan untuk kariernya sebagai kartunis/seniman. “Projek Komik di halte Transjakarta bersama Ruangrupa di tahun 2004 sangat berkesan buat saya. Di situ, saya jadi mengenal medium yang baru buat saya dan mengaplikasikan komik di medium baru tersebut. Itu juga menjadi awal pertemuan saya dengan Ruangrupa Jakarta,” jelas Azer yang bermimpi membuat karya kolaborasi dengan Eko Nugroho ini.
Inspirasi dan Teknis
Inspirasi merupakan bahan bakar penting dalam berkarya. Untuk Komikazer sendiri, ada beberapa sosok seniman yang ia kagumkan–yang akhirnya memicu karya-karya darinya yang bisa kita lihat sekarang ini.
“Saya sangat banyak terinspirasi oleh American Splendor-nya Harvey Pekar, Big Book of Hell karya Matt Groening, dan Lagak Jakarta karya Mas Beni dan Mice dan Dan Perjovschi,” jelasnya.
Dari karya-karya yang disebut oleh Azer, kita bisa menyimpulkan bahwa ketertarikannya pada komik serta kreatornya amat besar. Matt Groening, ilustrator yang menciptakan seri kartun legendaris The Simpsons membuat komik strip Life in Hell (yang kemudian dibukukan menjadi Big Book of Hell) bahkan sebelum The Simpsons mulai diproduksi. Kita semua pasti familiar dengan konten komedi dan satir terkandung dalam karya-karya besar Matt Groening. Tidak heran jika Komikazer kini selalu menggambarkan keadaan sosial, politik, dan isu humanis lainnya lewat ilustrasi simbolis atau komik strip buatannya.

Selain inspirasi, hal penting lainnya untuk para ilustrator adalah teknis dalam membuat karya. Komikazer mengatakan bahwa sudah beberapa tahun ini ia sedang gemar menggunakan iPad Pro sebagai medium digitalnya. “Sejak 2017 hampir semua karya saya buat menggunakan iPad Pro. Karena fungsi dan efisiensinya saya memilih menggunakan gadget tersebut. Sebelumnya, saya menggambar manual dan ternyata, karena saya sering berpergian jadi saya merasa kurang praktis,” ungkapnya.
Media digital memang saat ini menjadi banyak pilihan para ilustrator dan seniman karena faktor-faktor teknis yang mendukung. Namun, apakah Komikazer akan terus menggunakan medium digital dalam pengkaryaannya?
“Dengan medium digital saya merasa apa yang saya sampaikan menjadi lebih cepat diterima oleh audiens, namun bukan berarti itu menjadi lebih efektif. Sebagai seorang seniman, saya mau membuat pengalaman baru bagi audiens saat melihat karya saya. Karena itu saya akan terus bereksplorasi lintas medium dengan karya saya. Mediumnya apa, saya pun belum tahu karena saat ini saya masih nyaman mengeksplor medium digital,” jelasnya.
Sumber: crafters.getcraft.com