Menghadirkan ilustrasi sebagai pelengkap berita bukanlah sebuah ide yang baru. Di halaman berita koran sampai berita daring, sering kita melihat berbagai ilustrasi terpampang sebagai pendukung gagasan ide yang dihadirkan. Namun, beberapa waktu belakangan, penggunaan materi visual dalam penyajian berita tak hanya terpatok pada pemilihan ilustrasi. Ada pula yang menghadirkan berita melalui komik.
Sebagai bagian dari sebuah masyarakat yang tengah melek teknologi dan terpapar dengan berita setiap harinya, membaca komik sebagai medium jurnalistik menjadi pilihan yang segar. Tak hanya dirasa lebih pas menyenggol sentimen, komik yang menyampaikan berita memiliki keunikan yang kaya; sebuah kekuatan yang terkadang luput diulas oleh kata semata.
Muatan jurnalistik berbalut komik tak hanya dapat kamu temukan di media luar. Di Indonesia sendiri penggunaan komik untuk menyampaikan berita memiliki pegiatnya sendiri. Salah satunya adalah Jurnalis Komik.

Bertandang ke halaman Jurnalis Komik di Instagram, kamu akan disuguhkan ungkapan berbagai ilustrasi komik bermuatan narasi jurnalistik. Mulai dari komik yang membahas cerita silaturahmi sama ojek perahu yang hidup dekat sungai Citarum, kisah sosok Munir, hingga beberapa orang yang nekad mengais nafkah di salah satu bagian Waduk Saguling–yang dianggap berlimbah, dan masih banyak lainnya.
Penasaran dengan awal mula berdirinya Jurnalis Komik dan inisiatif apa yang mendorong karya mereka, Crafters menghubungi Hasbi Ilman Hakim. Ia berperan sebagai Pemimpin Redaksi Jurnalis Komik. Berikut wawancara Crafters dengan Jurnalis Komik.
Boleh diceritakan tentang awal terbentuknya Jurnalis Komik?
Awal terbentuk media Jurnalis Komik yaitu ketika momentum World Press Freedom Day di Jakarta pada 3 Mei 2017. Ketika itu, saya mendapatkan beasiswa peliputan dan pelatihan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tentang Data Driven Journalism. Data Driven Journalism ini berbeda dari sekadar infografik yang biasa kita lihat di media-media mainstream hari ini. Di sana, saya mendapati bahwa inti dari Data Driven Journalism adalah visualisasi dari big data yang ada. Pelatihannya juga menyasar kepada visualisasi data—bukan mencari data.
Jika bicara visualisasi, kebetulan saya telah menggeluti dunia komik sejak 2011, saya berpikir: Mengapa tidak dengan visualisasi “data” dalam bentuk komik? Data Driven Journalism menyasar kepada objektivitas, sedangkan komik dapat melengkapi kekosongan dari “nyawa” big data melalui pendekatan subjektif.
Setelah itu, saya mendapatkan jatah study tour sekaligus magang di Tempo selama rangkaian beasiswa World Press Freedom Day untuk pelajar. Waktu itu, saya meliput tentang penggusuran Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Setelah teks rampung, saya kemudian membuat komiknya.
Terbesit di benak saya, cukup jarang komikus yang bisa sekaligus meliput—demikian sebaliknya. Saya kemudian mencoba membuat sebuah media alternatif berbasis jurnalisme komik, untuk memperkenalkan sekaligus mengupayakan agar genre ini “ada” dalam perdebatan jurnalisme secara inklusif.
Saya belajar jurnalistik di kampus, dan kebetulan pernah menjadi anggota pers mahasiswa. Saya kemudian mengajak teman-teman saya yang ada di pers mahasiswa untuk ikut berkolaborasi dan mengurus Jurnalis Komik. Syukur, teman-teman saya tertarik.
Bisa dibilang, setelah lulus dari pers mahasiswa, kami kangen berjurnalistik lagi—tidak ada yang berprofesi sebagai jurnalis profesional di antara kami. Pekerjaan saya adalah ilustrator dan komikus untuk beberapa pesanan perusahaan. Teman saya bekerja sebagai marketing. Ada juga yang desainer, event organizer dan ada juga yang masih mahasiswa tingkat akhir.
Lantas kami menyatukan visi bersama untuk membuat media alternatif.
Dari mana sih inspirasi kalian awalnya saat membuat Jurnalis Komik?
Inspirasi awal berasal dari keresahan atas “kekosongan” dalam dunia jurnalisme, maupun komik. Saya pribadi, resah membaca komik-komik fiktif dan ketidakpuasan saya terhadap komik-komik nonfiksi yang ada di Indonesia. Komik atau kartun politik di koran-koran, bagi saya, seperti dua bilah pisau. Sang kartunis menggulirkan opini kepada publik sebagai medium diskursus. Opini bagi saya terlalu liar karena kita tidak hidup dalam dunia yang “hitam dan putih” belaka. Komik secara literasi sedang mendapat perhatian lebih—tetapi tentu tanggung jawabnya besar pula.
Selain itu, saya juga senang membaca cerita-cerita feature di media massa. Banyak cerita memikat, mengharukan, bangga sekaligus mengiris hati. Namun entah mengapa, cerita ini cukup jarang mendapat perhatian dalam diskursus publik.
Inspirasi setelahnya adalah saya mencoba mencari profesi jurnalis komik di seluruh dunia. Ternyata benar-benar ada. Salah satunya Joe Sacco, komikus yang mempopulerkan peliputan yang dibungkus dalam bentuk komik.

Tentu, ide dasarnya adalah saya ingin membuat media yang menjadikan jurnalisme komik sebagai konten utama. Terlepas dari perdebatan bahwa “jurnalisme komik” itu ada atau tidak, kami hanya mencoba menggulirkan wacana bahwa komik adalah medium komunikasi seperti film, audio, atau teks, dan tidak bisa diremehkan.

Bagaimana kamu sebagai pendiri Jurnalis Komik melihat fenomena jurnalistik di Indonesia saat ini? Apakah Jurnalis Komik menjadi sebuah cara bagimu untuk kemudian meneruskan sebuah berita karena kamu memiliki kritik terhadap jurnalisme di Indonesia? Atau justru, Jurnalis Komik sebagai respon para pembaca berita yang kini semakin tidak tertarik dengan bentuk berita konvensional?
Secara fenomena objektif, saya belum bisa berkomentar banyak. Namun jika beranjak dari keresahan pribadi, saya tidak suka dengan media partisan yang dikuasai oleh orang-orang “berpunya”. Alhasil, kepentingan berita, konglomerasi media, tidak berpihak kepada publik dan justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya kuasa. Contohnya, pemilu. Indonesia benar-benar mengulang sejarah, ketika media dikuasai oleh partai-partai tertentu pada era Orde Lama.
Intinya, saya kira, adalah kurangnya independensi dan keberpihakan media kepada publik. Saya merasa kepercayaan masyarakat kepada media agak terjun—dan saya merasakan itu ketika melakukan peliputan di lapangan.
Selain itu, perkembangan jurnalisme komik di luar negeri sudah “ada”. Beberapa media di sana menyediakan konten jurnalisme komik. Namun bukan menjadi konten utama.
Tentu, ide dasarnya adalah saya ingin membuat media yang menjadikan jurnalisme komik sebagai konten utama. Terlepas dari perdebatan bahwa “jurnalisme komik” itu ada atau tidak, kami hanya mencoba menggulirkan wacana bahwa komik adalah medium komunikasi seperti film, audio, atau teks, dan tidak bisa diremehkan.
Selain itu secara wacana dan framing teks, kami berupaya menyajikan sudut pandang alternatif, beragam dan manusiawi. Bagi kami, ketika ada suatu persoalan, kita harus menerapkan asas praduga tak bersalah dan tidak menghakimi. Kami juga berusaha sesuai dengan kaidah dan kode etik jurnalistik.
Kami hanya ingin memberikan alternatif “sudut pandang” dari beberapa jalan yang kecil dan sukar dilihat saja.
Menurutmu, seberapa besar pengaruh visual, terutama komik terhadap perkembangan jurnalisme di Indonesia?
Dalam hal ini, diskursus “visual” masih menjadi perdebatan dalam kajian jurnalistik. Beberapa wartawan dan akademisi jurnalistik yang saya tanyakan bilang, jurnalisme komik harus serupa dengan kaidah jurnalisme film. Artinya, gambar harus realistis dan warna tak boleh berubah. Sedangkan dalam perkembangan jurnalisme komik dunia, tak sedikit kreator yang menggunakan gaya kartun dalam peliputan komiknya.
Saya kira, teori tentang visual dalam genre ini masih belum rampung.
Garis perbedaan antara jurnalisme komik dan komik biasa, bagi saya, adalah tidak adanya kegiatan karang mengarang dan opini pribadi dalam komik. Termasuk di dalam balon kata. Jurnalisme komik secara teks dalam komik, semuanya dapat dipertanggungjawabkan dan berdasar wawancara.
Sedangkan di beberapa media, tak sedikit menggunakan “gaya komik”—meski belum tentu dapat dikatakan sebagai komik. Contohnya adalah pembuatan infografik yang mengadopsi balon kata dalam visualisasi, untuk opini media atau humor belaka (seperti pak Tirto dalam infografik Tirto.id, yang biasanya balon kata komik digunakan untuk humor).
Bagaimanakah proses kreatif Jurnalis Komik dalam menghadirkan sebuah karya mulai dari pra produksi, produksi sampai pasca produksi?
Seperti praktik jurnalisme biasa. Salah satu dari kami berangkat meliput, menuliskannya, dan menjadikannya narasi komik. Terkadang komikusnya ikut ke lapangan untuk menambah referensi visual. Namun jika berhalangan, cukup foto saja untuk menggambarkan suasana.
Setelah itu adalah proses penggarapan naskah menjadi komik. Sederhananya, saya membuat sketsa, inking dan pewarnaan di komputer. Setelah itu saya kirim ke admin Jurnalis Komik untuk diterbitkan di website dan Instagram.

Tantangan apa yang Jurnalis Komik hadapi dari awal berdiri hingga saat ini? Upaya apa yang dilakukan untuk meminimalisir tantangan-tantangan tersebut?
Tantangannya ketika di lapangan. Tak sedikit yang skeptis, atau menganggap remeh ketika diwawancarai—karena kami media alternatif yang belum dikenal. Selain itu, komik selalu dianggap remeh karena bacaan anak-anak—atau medium humor olok-olok. Pernah juga ada yang menolak. Solusinya, ya, kami cari narasumber lain yang tetap kredibel dan setara dengan yang menolak.
Selain itu, bantahan tentang genre ini secara teori. Teori yang masih jadi perdebatan ini membuat kami masih riskan dalam posisi hukum. Jika ada masalah dan kekeliruan, bisa saja kami dibredel dan langsung dijebloskan ke dalam penjara. Padahal ketentuannya, media harus dilaporkan kepada dewan pers. Kekosongan ini, secara jujur, membuat kagok.
Solusinya, ya, jalan saja terus. Karena idealnya kita masih dinaungi UU kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Beberapa karya Jurnalis Komik merupakan hasil kolaborasi dengan sejumlah reporter, komikus, dan media lain. Kalau bisa berkolaborasi dan menghasilkan karya lagi, apa yang akan Jurnalis Komik angkat dan dengan siapa Jurnalis Komik akan berkolaborasi?
Sejauh ini kami baru mengontak beberapa wartawan dan komikus yang pernah bertemu dan mau membuat liputan komik bersama saja. Kami berencana memperbanyak kolaborasi dengan wartawan dan komikus daerah, untuk menunjukkan bahwa Indonesia itu besar, luas dan beragam.
Kalau isu yang akan diangkat dan dengan siapa yang akan berkolaborasi, mungkin di-hold dulu kali yah. Hehe. Karena masih dalam proses… ditunggu ajah tanggal mainnya.
Namun terdekat, kami masih berkolaborasi dengan bang Aziz Rasjid, wartawan asal Banyumas dari Merdeka.com.
Bagaimanakah potensi materi visual khususnya komik dalam mengubah persepsi seseorang terhadap isu yang diangkat jurnalisme?
Berbicara potensi materi visual dan persepsi seseorang, secara jujur kami sukar menebaknya. Secara sederhana kami hanya ingin menawarkan sudut pandang alternatif dari suatu isu. Kalo “ini tuh ada lho”, “sayang banget kalo dilupain”. Persepsi publik mungkin berbeda-beda. Yah… tugas kami hanya mencoba seakurat mungkin sekaligus belajar lebih banyak tentang jurnalistik.
Untuk selanjutnya, apakah Jurnalis Komik hanya akan memproduksi karya di dunia digital saja?
Sebenarnya pada tahun 2017, Jurnalis Komik adalah media cetak—zine. Peliputan komik yang dibungkus dalam 20-30 halaman ini, biasanya dijual ketika ada event-event komik. Nah, kami baru mencoba di ranah digital ketika Juni 2018.
Untuk tahun ini, ada rencana membuat majalah khusus beserta merchandise. Tentu, keuntungannya diperuntukkan akomodasi agar tim kita bisa meliput di daerah-daerah lain. Hehe.
Selain komik digital, kami juga berencana melakukan manuver-manuver lain yang bagi kami menarik. Mungkin bisa ditunggu saja. Hehe.
Terakhir, akan dibawa ke arah manakah Jurnalis Komik?
Wah, pertanyaan berat. Hahaha.
Secara sederhana mah, kami ingin mengundang banyak komikus dan jurnalis untuk berkolaborasi membuat peliputan komik—agar genre ini tidak eksklusif. Memperbanyak cerita di sejumlah daerah di Indonesia (meminimalisir pemberitaan yang Jakarta sentris, hahaha) dan banyak bereksplorasi dalam dunia jurnalisme, media dan komik itu sendiri.
Sumber: crafters.getcraft.com