Berikut Cara Ilustrator Emte & Nadya Noor Mengubah Tulisan Menjadi Pesan Visual!

on

|

views

and

comments

Pendamping setia yang pas dan bisa mendukung. Semua hal rasanya pasti memerlukan satu hal tersebut. Tidak jarang, bahkan sebuah tulisan atau artikel yang terbit entah di koran atau di sebuah portal media.

Sudah akrab belakangan rasanya kalau melihat sebuah artikel/tulisan yang didampingi dengan ilustrasi cantik yang tidak dibuat oleh sembarang orang. Bahkan saat ini, sudah banyak media yang merangkul ilustrator untuk bekerja tetap sebagai seniman visual untuk situs mereka. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, ternyata untuk membuat ilustrasi editorial tidak sembarangan. Ada tahap-tahap yang harus dilewati para ilustrator agar dapat membuat keju yang pas untuk makaroni si penulis.

Kali ini, saya berbincang dengan dua ilustrator sekaligus untuk mendapatkan insights yang cukup sebagai bahan riset tulisan ini. Nadya Noor, seorang ilustrator muda yang saat ini bekerja tetap sebagai ilustrator di Tirto.id dan Mohammad Taufiq (Emte), seorang visual artist yang namanya dulu melambung tinggi karena banyak menggarap ilustrasi untuk majalah-majalah fashion dan lifestyle selama bertahun-tahun.

Ilustrasi editorial karya Nadya Noor untuk Tirto.id (Dok. Instagram @nadya.noor)
Karya ilustrasi Emte yang dikenal untuk majalah fashion (Dok. Instagram @emteemte)

Keduanya adalah ilustrator yang cukup berbeda. Nadya, sebagai ilustrator yang khatam membuat ilustrasi sebagai pendamping artikel di situs Tirto dan Emte, ilustrator freelance yang memvisualkan tulisan lewat brief yang telah disetujui oleh redaksi dari berbagai media. Emte sendiri, banyak dikenal dengan ilustrasi manual buatannya–cat air, tinta, dan sebagainya, sedangkan Nadya kebanyakan membuat ilustrasi yang penuh warna-warni cantik secara digital.

Ternyata, kedua ilustrator itu menjalani berbagai hal yang tidak jauh berbeda di saat menggarap sebuah ilustrasi editorial.

Visualisasi Teks

Sebagai ilustrator editorial, pelakunya membutuhkan beberapa kepekaan lebih terhadap teks. Kira-kira, ini yang terus ditekankan oleh kedua ilustrator yang saya wawancara. Nadya mengatakan bahwa ia membutuhkan, secara spesifik, beberapa hal yang amat penting.

“Isu, referensi, dan artikel itu sendiri. Soal isu, untuk menyampaikan pesan dalam gambar perlu memahami isu yang diangkat oleh artikel. Terkadang, membaca artikel tidak cukup karena konteks yang diutarakan sudah ‘ditajamkan’ oleh sudut pandang penulis, jadi menurutku perlu tahu konteksnya secara garis besar. Referensi dalam bentuk visual juga diperlukan dalam proses pencarian ide, karena mencari kecocokkan antara gaya gambar dan isu (untuk aku) memakan waktu cukup banyak, hahaha. Sederhananya, tinggal menanyakan pada diri sendiri ‘mau bikin yang simpel atau kompleks’ berpengaruh banget untuk menentukan hasilnya. Yang terakhir tentu saja artikelnya sendiri. Menurutku, ilustrasi editorial memiliki lapisan arti dalam satu gambar. Untuk sampai kepada pembaca, perlu dibantu dengan sudut pandang penulis dalam artikel. Seperti yang kusebutkan tadi, ketika kita sudah memiliki konteks, sudut pandang penulis menjadi ujung tombak bagi ilustrasi artikel,” jelasnya panjang dan mendetail.

Karya Emte yang sering menggarap ilustrasi editorial untuk majalah fashion (Dok. Instagram @emteemte)

Emte juga setuju. Baginya, ilustrasi editorial tidak bisa digarap asal. “Wawasan, kemampuan ilustrator dalam menangkap situasi sekitar, penguasaan teknis, serta pengertian tentang hal yang mau dia sampaikan. Sebuah gambar bisa dimengerti kalau ada impact-nya, kalau si pembaca dapat perasaan tertentu–ilustrator berarti sukses menyampaikan pesan. Ilustrator ibaratnya seperti orang yang bicara, tapi lewat kemampuan dia mengolah bidang garis, warna dan kedalaman,” ungkapnya.

Tapi, ilustrator editorial juga harus tajam dan peka dengan hal-hal yang harus mereka hindari saat menggarapnya. Seperti yang ditegaskan oleh Nadya, bahwa keberpihakan pada satu sisi, misalnya. “Coba deh bayangin, kalau disuruh bikin ilustrasi politik ternyata brief-nya tentang kubu politik sebelah, masa sih kualitas ilustrasinya juga ikut menurun? Hahaha. Itu berlaku bagi semua bidang, sebagai ilustrator harus netral dalam membaca artikel,” jelasnya.

Ia juga melanjutkan bahwa “menurutku, yang perlu dihindari adalah penggambaran satu aspek dalam artikel. Ilustrasi editorial yang kuat–di luar teknik ilustrasinya–adalah ilustrasi yang memiliki banyak lapisan aspek, memuat isu, dan dimengerti pembaca. Ilustrasi editorial yang kuat bisa berdiri sendiri tanpa artikel pendamping, cukup dijabarkan melalui headline. Jadi, kalau cuma membaca satu paragraf dan menggambarkannya, menurutku kekuatannya akan hilang,” katanya.

Dari sisi lain, Emte menambahkan bahwa dalam penggarapan sebuah ilustrasi editorial, ia merasa bahwa hal teknis juga penting. “Misalnya, kalau gambarnya bisa dimengerti dalam kadar gambar yang tidak ramai, ya berarti enggak perlu ramai. Enggak usah terlalu nambah-nambahin, nanti keluar dari message-nya sendiri,” tegas Emte di wawancara kami.

Karya ilustrasi editorial Nadya Noor untuk isu pernikahan anak (Dok. Instagram @nadya.noor)

Yang perlu dimengerti oleh Ilustrator Editorial

Perlu dipahami bagi siapapun yang tertarik menjalani profesi ini, bahwa seorang ilustrator editorial dituntut untuk memiliki ketangkasan dalam bekerja. Begini maksudnya, karena sifatnya aktual, pihak redaksi pasti sudah memiliki deadline waktu yang super mepet. Itu juga yang dirasakan Nadya dan Emte. “Bahkan kadang, last minute aja bisa berubah. Kalau sudah gitu, kita kembalikan lagi pada ilustratornya. Sanggupkah berkarya dengan situasi seperti itu?” kata Emte.

Apa saja tantangannya? Tantangan bagi si Ilustrator memang waktu yang mepet karena intensi media untuk selalu aktual dan cara mengasah kemampuan mereka dalam mengolah bahan dasar teks menjadi sebuah visual baru yang mendukung saat disajikan lengkap dengan tulisan/artikel tersebut.

Tidak kalah penting, saya membahas soal kepentingan ciri khas si ilustrator dalam membuat sebuah ilustrasi editorial. Apakah penting? Jika penting, bukannya si ilustrator di satu sisi pastinya dituntut untuk bisa menyampaikan visual dalam gaya dan bentuk apapun?

“Penting dong, karena ciri khas dianggap sebagai kartu nama bagi ilustrator itu sendiri. Semua orang pasti bisa kok membedah isu dalam artikel secara kreatif, namun ciri khas adalah identitas ilustrator yang membawakannya,” kata Nadya.

Pada pertanyaan ini, Emte hampir setuju. Menurutnya, memang ilustrator editorial yang profesional harus melewati banyak studi visual dalam rangka memperkaya diri mereka untuk kepentingan bentuk visual yang bermacam-macam nantinya. Namun, ciri khas juga menjadi sebuah elemen penting karena pada akhirnya, dipercaya dan diajak bekerja sama karena ciri khas yang telah ia bangun dalam portfolio sebelumnya dapat membantunya mudah dikenal oleh para klien.

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: crafters.getcraft.com

Share this
Tags

Must-read

Mantaflow Creating Fire

Menciptakan efek api? Mudah dengan Mantaflow! https://www.youtube.com/watch?v=lR9vjaYzeYQ
spot_img

Recent articles

More like this