Narpati Awangga: Membangkitkan Kembali Kejayaan Pixel Art

on

|

views

and

comments

Generasi ‘90an adalah generasi yang berbangga. Tak hanya dapat mencicipi teknologi awal digital, generasi yang tumbuh dan menjadi dewasa di tahun tersebut punya banyak hiburan yang unik serta masih bertahan sampai sekarang. Lihat saja Mario Bros. Game yang sempat spektakuler di tahun ’80an dan mempertahankan masa kejayaannya di tahun ’90an itu masih digandrungi golongan orang dewasa hingga anak-anak masa kini.

Mengikuti seri game ikonik itu masih banyak permainan digital lain seperti Pokemon, Price of Persia, Suikoden, Harvest Moon, dan lain sebagainya. Games tersebut boleh saja telah habis masa hidupnya dan telah resmi menjadi bagian dari sejarah generasi ’90an. Namun ada hal lain yang kerap muncul sebagai pengingat masa kejayaan tersebut, salah satunya adalah pixel art atau seni grafis piksel.

oomleo: Cerahnya Masa Depan Pixel Art Indonesia
(Dok. oomleo)
oomleo: Cerahnya Masa Depan Pixel Art Indonesia
(Dok. oomleo)

Pixel art sendiri tak hanya gandrung di luar negeri. Bicara masalah pixel art dan senimannya di Indonesia berarti tak lepas dari membicarakan sepak terjang Narpati Awangga. Pria yang lebih dikenal dengan sebutan Oom Leo ini ialah seniman pixel art. Pernah berkuliah di ISI Yogyakarta, ia aktif berkarya dan ikut beragam pameran dari tahun 1999. Selain itu, ia juga mengepalai RURUradio sekaligus bermain synthesizer di grup musik Goodnight Electric.

Penasaran dengan bagaimana lanskap pixel art di Indonesia, potensi cabang seni digital tersebut, dan sepak terjangnya sebagai seorang pixel artist, saya mewakili Crafters berkesempatan mewawancarai Oom Leo. Berikut cuplikannya.

Sebutan Pixel Art sendiri pertama kali digagas oleh Adele Goldberg dan Robert Flegal dari Xerox Palo Alto Research Center di tahun 1982. Walau sering dipakai untuk memvisualisasikan game ’90an, pada tahun 2000an pixel art juga digunakan untuk kepentingan video musik seperti yang dilakukan oleh band elektronik Royksopp asal Norwegia untuk lagunya yang berjudul Remind Me.

Boleh diceritakan dari awal, mengapa kamu terjun di dunia pixel art?

Selepas SMA, di medio tahun 90an, saya memutuskan memilih dunia seni rupa sebagai jenjang karier. Semenjak duduk di bangku sekolah menengah, saya sangat tertarik dengan seni, dan melanjutkan kuliah di kampus ISI Yogyakarta (Fakultas Seni Rupa, jurusan Seni Murni/Grafis). Begitulah ceritanya, sampai pada akhirnya saya menemukan sebuah metode penciptaan karya di ranah digital art, yaitu mencipta karya seutuhnya hanya dengan medium dan proses digital. Secara teknis, jenis karya tersebut bernama pixel art.

Pixel art adalah jenis karya yang memanfaatkan elemen visual terkecil pada tampilan gambar digital. Elemen bit terkecil ini biasa dinamakan dot atau pixel. Kita biasa menemukan elemen tersebut saat menyaksikan gambar yang terpampang di layar monitor digital. Komposisi elemen pixel tersebut menjelma menjadi sebuah karya digital.

Saya mengikuti pergerakan karya digital art di masa itu. Sekitar tahun 1998-2000an, sebuah kolektif bernama eBoy di Jerman memikat hati saya. Kolektif ini berhasil menyihir dunia digital visual dengan karya pixel art yang menawan. Mereka benar-benar menginspirasi saya untuk memperdalam dan mencari tahu tentang proses pembuatan karya seni pixel; dan serta-merta mempengaruhi saya untuk melakukan konfigurasi maupun deformasi obyek pada karya digital lewat medium pixel art seperti yang terlihat pada karya-karya saya. Begitulah kira-kira kedekatan pertama saya dengan pixel art.

Hal apa yang membuatmu memutuskan jika ini wadah yang tepat untuk mengekspresikan diri? Apa sih yang menarik dari pixel art?

Kalau ditarik ke belakang, tanpa disadari, saya memiliki kedekatan yang kuat dengan pixel art. Masa kanak-kanak saya kerap dihabiskan untuk bermain video game macam Atari, Nintendo, Sega, dan beberapa game arcade (ding-dong) di era ’80an. Semua terkenang dengan baik di memori saya. Rekaman visual mengenai video game dan pixel di era awal digital tersebut, mengendap dalam kepala dan menjadi inspirasi saya di beberapa tahun setelahnya. Era 2000an berhasil mengembalikan kenangan visual karya pixel art melalui dukungan piranti lunak; juga beragam kemudahan dalam proses pengerjaannya dibandingkan dengan apa yang terjadi di era ’80an. Di masa sekarang, dukungan piranti tersebut memungkinkan munculnya metode baru dalam mengembangkan karya seni pixel.

oomleo: Cerahnya Masa Depan Pixel Art Indonesia
(Dok. oomleo)

Saat mulai belajar pixel art, bagaimana awal mula proses pembelajarannya?

Hal yang paling mendasar adalah keinginan untuk mencari tahu proses pembuatan, teknis, serta piranti apa saja yang digunakan dalam mencipta sebuah karya seni pixel. Ini biasa terjadi ketika seseorang mengalami ketertarikan terhadap karya seni tersebut.

Awalnya, secara kebetulan saya menemukan artikel karya pixel art dari eBoy di sebuah majalah terbitan Australia. Tertegun dan takjub, saya bergegas mencari tahu tentang hal tersebut di internet. Saat itu akses internet serta paparan informasi mengenai pixel art masih sangat minim, sehingga butuh usaha ekstra untuk menggali lebih dalam. Berlanjut dengan mempelajari teknik pixel art melalui tutorial, mencoba membuat pixel art sendiri, serta bergabung dengan aneka forum pecinta dan pembuat karya pixel. Hingga saat ini, proses menggali lebih jauh tentang karya seni pixel masih berlangsung dalam kehidupan saya.

Selain menekuni pixel art, kamu juga tergabung dalam Goodnight Electric, aktif bermusik dan mengadakan karaoke. Bagaimana keseharian itu mempengaruhi hasil karya pixel art kamu sendiri?

Saya telah berikrar menjadi seorang seniman. Ini merupakan pilihan pekerjaan dan karier hidup saya. Masih secara mantap saya menyatakan diri bahwasannya seorang Oom Leo adalah seniman. Jadi, ranah lain yang masih bersinggungan dan berkaitan dengan dunia kesenian seperti bermusik dan mengadakan acara karaoke, ataupun kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan penuh energi kreatif, akan selalu menyertai perjalanan karier saya. Semua itu, baik yang berhubungan dengan visual ataupun audio, sangat berarti bagi seorang Oom Leo. Mungkin output-nya saja yang berbeda; dunia audio, dan dunia visual. Sikap kesenimanan saya tetap sama.

Mengapa memilih gaya pixel art isometric? Pernahkah ingin mencoba gaya pixel art yang lain?

Pasti pernah. Hal ini didasari oleh proses awal pengetahuan dasar tentang seni pixel. Tidak mungkin seseorang langsung menguasai dan memilih gaya isometric saat pertamakali mempelajari teknik menggambar pixel. Selayaknya mempelajari karya seni kristik (cross stitch) yang sangat populer pada zamannya, metode belajar karya pixel nyaris sama: memindai gambar, meminimalisir serta menyeleksi penggunaan warna, gelap-terang, dan sebagainya. Proses awal ini sangat sulit untuk diterapkan langsung dengan gaya isometric. Biasanya, kita akan memulai dengan ilustrasi datar (flat) seperti figur, kartun, ikon, logo, dan sebagainya. Selanjutnya, isometric hanyalah sebuah pilihan orientasi visual dari karya pixel.

Kelak, rumusan gaya isometric akan muncul setelah kita mengetahui sifat dasar dan struktur “kotak-kotak” pixel yang mampu memfasilitasi penggambaran karya isometric. Walaupun ketertarikan awal saya pada pixel art dimulai ketika menyaksikan gaya isometric, namun pada prosesnya, seorang seniman pixel akan dituntut untuk menguasai terlebih dahulu pengetahuan dasar tentang karya seni tersebut.

Saya telah berikrar menjadi seorang seniman. Ini merupakan pilihan pekerjaan dan karier hidup saya.

Ada beberapa tema yang tampak jelas dalam karyamu seperti barang sehari-hari, kegiatan orang-orang, dan kerumunan. Ada hal apa sih di balik tema yang sering kamu tampilkan ini, yang membuatmu terus menerus kembali menggali sesuatu di sana?

Kalau boleh jujur, kegiatan menangkap atau merekam sebuah momentum seperti kejadian di angkot, misalnya, dengan gambar angkot dan situasi kejadian orang berjual-beli tak jauh dari angkot tersebut, sangat menginspirasi Oom Leo untuk mengubahnya menjadi isometric dan pixel art. Itu sangat berhubungan sekali, antara merekam kejadian dan mengubahnya menjadi karya pixel art.

Bicara soal apa yang ingin disampaikan lewat tema yang kerap muncul, sebenarnya kembali lagi pada insting masing-masing seniman. Ada seniman yang membahas isu kekerasan, politik, atau hanya sekadar keindahan semata. Ada juga kritik sosial. Namun bagi Oom Leo sendiri, ada beberapa pengalaman estetis di ranah yang mungkin berbeda seperti ranah politik, ranah artistik visual yang standar, memori-memori yang menarik juga bisa diangkat menjadi latar belakang Oom Leo. Enggak melulu bercerita tentang hal pragmatis atau menyatakan sebuah statement. Bisa apapun. Cakupannya sangat luas karena berangkat dari pengalaman pribadi, kehidupan sehari-hari, pengalaman konseptual yang berhubungan dengan mimpi, politik, pekerjaan, atau sosial, (semuanya) bisa diolah menjadi karya pixel art.

Dari sekian banyak karya yang sudah kamu pamerkan dan kerjakan, yang mana yang paling berkesan dan membanggakan bagimu?

Mengerjakan pixel art itu punya pengalaman estetis yang berbeda. Biasanya, proses pengerjaan masing-masing pixel art cenderung memakan waktu yang lama. Mengingat momentum pengerjaannya, musik yang dipilih saat mengerjakan karya, lalu apa yang terjadi saat saya tengah mengerjakan karya tersebut. Misalnya saat saya mengerjakan karya pas lagi sakit, atau saat ada piala dunia yang berlangsung.

oomleo: Cerahnya Masa Depan Pixel Art Indonesia
(Dok. oomleo)

Kalau begitu, karya apa yang membutuhkan waktu paling lama untuk diselesaikan?

Saya pernah mengerjakan sebuah adegan situasi dengan banyak atribut sampai kurun waktu 6 bulanan. Itu dibuat di awal-awal masa saya mendalami pixel art. Judulnya Hot Spot, di mana saya diharuskan menangkap situasi kondisi mall yang ramai. Di situ atributnya ramai; ada banyak gedung, orang, mobil, dan atribut-atribut lainnya.

Secara pengalaman, unsur-unsur yang terdapat pada karya tersebut sangatlah hidup dan saya bisa menggunakannya kembali dalam karya selanjutnya. Jadi, hampir semua benda-benda yang terdapat dalam karya isometric saya itu dapat didaur ulang untuk menjadi karya baru. Enggak ada masalah untuk membuat gambar sebanyak-banyaknya karena masing-masing gambar selalu bisa digunakan kembali untuk karya yang lain. Kalau kamu perhatikan, kamu bisa melihat ada satu sosok yang sama dalam beberapa karya saya.

Itulah perbedaan karya visual pixel art dengan karya konvensional. Dalam pixel art, materi-materinya masih bisa berjalan, hidup, dan survive untuk dikembangkan lagi. Sedangkan karya konvensional akan berhenti setelah kamu selesai menggambarnya.

Bagaimana kamu melihat perkembangan pixel art di Indonesia?

Saat ini ada cukup banyak teman-teman yang tertarik menggunakan pixel art sebagai medium ekspresi berkarya. Saking banyaknya, saya sampai membuat forum untuk menjadi wadah teman-teman penyuka pixel art untuk berkumpul dan membuat pixel art bareng. Senimannya ada. Namun secara profesional, belum banyak orang menyatakan dirinya sebagai seorang seniman pixel art murni yang menghidupi dirinya sendiri lewat pixel art.

Menurutmu, seberapa besar potensi pixel art di Indonesia?

Untuk Indonesia dan dunia, selama orang masih menggunakan tampilan layar yang menggunakan sistem pixel, karya seni pixel masih tetap bisa hidup dan survive. Bicara perkembangan, tinggal bagaimana ketertarikan orang-orang untuk terus memperdalam kesenian.

Masih bicara soal perkembangan, seni gambar di dunia ini cenderung stuck. Dalam artian belum ada metode pengolahan gambar digital baru. Visual art masih seputaran 3D animasi, pixel art, vector art, dan sebagainya. Ada hologram, tapi itu juga dibuat menggunakan mapping dan dengan teknis yang sudah ada dari lama. Mungkin karena belum ada perkembangan teknologi baru yang lebih canggih. Jadi kayaknya pixel art masih bisa survive di zaman sekarang.

Apa saja kemampuan yang wajib dimiliki sebelum terjun ke dunia pixel art?

Basisnya adalah pengetahuan standar tentang esensi karya seni. Pelajari dasar pengetahuan warna, nirmana, garis, gradasi, serta proses menggambar. Pelajari juga bagaimana cara menerjemahkan estetika karya dalam menggambar. Perkaya pengetahuan bentuk, pengetahuan menggambar, juga ilustrasi.

Setelah kamu masuk ke proses pengerjaan, yang pasti harus dimiliki adalah ketekunan. Karena proses pengerjaannya itu satu-satu, enggak bisa otomatis menerjemahkan satu karya menjadi pixel. Harus ada sentuhan-sentuhan konvensional seperti menggambar satu per satu titiknya. Jadi harus punya ketekunan, kesabaran tingkat tinggi, dan waktu.

Dalam pixel art, materi-materinya masih bisa berjalan, hidup, dan survive untuk dikembangkan lagi. Sedangkan karya konvensional akan berhenti setelah kamu selesai menggambarnya.

oomleo: Cerahnya Masa Depan Pixel Art Indonesia
(Dok. oomleo)Sumber: crafters.getcraft.com

Share this
Tags

Must-read

Mantaflow Creating Fire

Menciptakan efek api? Mudah dengan Mantaflow! https://www.youtube.com/watch?v=lR9vjaYzeYQ
spot_img

Recent articles

More like this