Pernahkah kamu memperhatikan coretan di dinding kota seperti di atas? Lalu apakah kamu memahami apakah maksud dari coretan artistik itu? Sebagian besar karya seni di pinggir jalan itu adalah hasil dari tangan kreatif para seniman yang bergerilya di malam hari. Mengapa malam hari? Sebentar, lebih baik kita pahami dulu apa itu kesenian jalanan (street art) dan macam-macamnya.
Macam-macam Street Art
Street art memiliki beragam jenis, antara lain; grafiti, wheatpaste, stencil, dan mural. Dari keempat jenis itu, yang membedakan adalah teknik pembuatannya. Teknik grafiti menggunakan pylox sebagai alat melukis. Wheatpaste memakai kertas fotocopy yang telah dicetak sebelumnya. Ciri khas dalam penempelannya ialah memakai adonan tepung kanji sebagai lem yang dioleskan di dasar dinding agar gambar bisa menempel. Bagaimana dengan stencil? Stencil cenderung memanfaatkan kertas duplex sebagai cetakan. Kreativitas pada seni stencil terletak pada teknik cetakannya.

Sejarah dan Perkembangan Street Art di Indonesia
Saat ini, di kota-kota besar bisa dengan mudah ditemui macam-macam gambar dan tulisan artistik sebagai bentuk ekspresi. Yang pasti, motivasi mendasarnya adalah memanfaatkan ruang publik sebagai media komunikasi. Tapi, tahukah kamu seperti apa kira-kira asal mulai street art ini? Cikal bakal street art di Indonesia sebenarnya berasal dari peradaban purbakala. Di daerah Maros, Sulawesi Selatan, tepatnya di Goa Leang-Leang, banyak ditemukan karya di dinding goa di mana manusia purba pun berekspresi secara visual.
Kesenian jalanan sebagai bentuk ekspresi juga memegang peranan penting dalam berbagai gejolak sosial politik di negeri ini. Terutama saat berlangsungnya perang kemerdekaan di sekitar tahun 1945-1949. Sekian tahun kemudian, diperkirakan pada tahun 1990 street art makin berkembang, meskipun masih didominasi visual berbasis huruf dan tagging sederhana. Memasuki tahun 2000an, seni alternatif ini terus dikembangkan dan beralih ke visualisasi yang beragam menggunakan cat semprot. Perkembangan itu sejalan dengan bertambahnya jumlah komunitas grafiti di beberapa daerah.
Bukan Sekadar Corat-Coret
Street art berupa grafiti, mural, dan poster hadir di sisi jalan raya hingga gang sempit. Dari pusat perbelanjaan hingga pasar tradisional. Dari rolling door pertokoan, gerbong kereta, hingga bangunan kosong. Bagi seniman jalanan, dinding perkotaan itu adalah sebagaimana kanvas bagi para pelukis. Bahkan, dinding kota adalah diary visual bagi para street artist profesional. Itulah media untuk menyampaikan unek-unek yang tidak bisa disampaikan di tempat lain. Mulai dari merespon masalah realitas kehidupan di sekelilingnya, kritik sosial, protes kepada pemerintah, atau gagasan lainnya.
Adanya perkara-perkara kaum urban memicu ide bermunculan. Sebagai contoh adalah kasus di Jogja terkait pembangunan hotel. Masalah pembangunan hotel yang membuat aliran air rumah penduduk di sekitarnya jadi kurang lancar. Sebagai respon, kemudian dibuatlah grafiti ‘Jogja Ora Didol’ yang artinya Jogja tidak dijual kepada kapitalis. Jadi, harapannya masyarakat umum tahu isunya saling dukung tujuan berhasil ketika keresahan itu sudah dibagi dan ditemukan solusinya.

Bukan sekadar corat-coret, para seniman jalanan adalah orang-orang yang bekerja karena passion dan sepenuh hati. Jika ditanya apa tujuan saat melakukannya, seringkali mereka sebenarnya tidak bertujuan untuk mengubah keadaan yang memang bukan ranahnya. Ada suatu kepuasan tersendiri yang mereka dapatkan ketika menjalankan hobinya yang punya nilai di kehidupan sosial. Yang pasti, mural dan grafiti yang mereka buat seolah-olah menghidupkan kota-kota yang tanpa ekspresi atau mewarnai tepi jalanan yang sibuk karena aktivitas kaum urban.
Street Art vs Vandalisme
Sebagai bentuk ekspresi seni dan dan menyuarakan aspirasi pada pemerintah, grafiti dan mural tumbuh subur di Indonesia. Di kota-kota tertentu seperti di Jogja misalnya, makin bermasalah kebijakan pemerintahnya, maka jalanan akan semakin ramai dengan coretan. Jadi, pertanyaannya: apakah street art itu legal? Hal ini masih pro dan kontra di kalangan masyarakat. Memang benar, street art yang notabene merupakan ‘seni alternatif’ cenderung kurang mendapat simpati, baik dari pemerintah maupun masyarakat umum karena dianggap merusak fasilitas umum. Seniman jalanan yang kucing-kucingan dengan polisi pun menjadi kendala klasik untuk perkembangan street art ini, sampai-sampai mereka harus berkarya (atau gerilya?) saat larut malam menjelang pagi.
Uniknya, beberapa street artist berpendapat bahwa yang namanya street art itu memang ‘seharusnya’ ilegal. Vandalisme yang diyakini orang-orang pun bukan merupakan tindak kriminal yang merugikan pihak tertentu. Sebagian mereka menganggap street art yang didukung pemerintah, yang legal, atau yang dilakukan pada event resmi itu tidak sepantasnya disebut street art. Justru bagian serunya jadi seniman jalanan adalah karena kejar-kejaran dengan aparat itu. Jadi, bagaimana menurutmu? Apapun pendapat mereka, yang namanya seni, bukankah seharusnya dinikmati saja?
Masa Depan Seni Jalanan di Indonesia
Bicara soal masa depan street art di Indonesia, berarti kita bicara tentang apresiasi terhadap kreativitas orang. Di beberapa daerah, seniman jalanan sering terkendala soal izin dari pemerintah. Lain lagi dengan Solo, seni mural dan grafiti bisa menjadi bagian dari masyarakat kota. Jika sedang berkunjung ke Solo, tepatnya di daerah Singosaren, kita bisa melihat pemandangan warna-warni di pertokoan. Sebagai wadah untuk pegiat seni mural dan grafiti dalam rangka mengekpresikan jiwa seni mereka, koridor Jalan Gatot Subroto (Gatsu) dipilih menjadi lokasi untuk menuangkan gagasan mereka. Tentu hal itu bisa memberi dampak yang berarti dalam hal budaya, sosial, maupun ekonomi.

Di balik coretan abstrak di tepi jalan, ada simbol, tanda, gambar, juga corak yang beragam yang kadang hanya dipahami oleh kelompok tertentu saja, khususnya para street artist sendiri, di sana terdapat pesan penting untuk masyarakat. Sekali lagi, ini masih pro dan kontra. Kenyataannya, anak-anak muda yang ingin menyalurkan bakatnya menjadi graffity writer sering ditentang oleh orang tuanya, “Kamu dapat apa dari dari (menjalankan hobi) grafiti?” atau “Mau jadi apa kalau kerjaannya menggambari tembok terus?” Seperti itulah kira-kira. Jadi, apa motivasi terbesar mereka?
Menurut sejumlah street artist, mereka ingin mendapat kepuasan batin. Setelah itu, menjaga eksistensi. Satu hal yang diyakini adalah: meskipun kegiatan itu masih sering dipandang sebelah mata, begitu dijalani dengan totalitas, pasti ada feedback positif. Hal itu terbukti dengan adanya kenalan-kenalan baru, tambahan penghasilan, sampai bisa buka toko yang menyediakan kebutuhan street artist lainnya. Tidak sedikit yang kemudian mendapat job baru yang lebih profesional dan ‘diakui’. Kini karya grafiti dan mural mulai banyak diminati di lingkungan bisnis, menghiasi dinding restoran dan industri kaos sablon.
sumber : ublik.id