Jakarta: Kopi sempat dipandang sebelah mata sebelum akhirnya populer beberapa tahun belakangan ini. Hal itu diungkapkan Sofyan, pria asal Kebumen, Jawa Tengah yang menggunakan kopi sebagai medium untuk melukis.
Pria yang akrab disapa Gus Sofyan ini mengungkapkan bagaimana dirinya membutuhkan napas panjang untuk membuktikan lukisan kopi bukan sembarang karya.
“Saya menggeluti lukisan kopi sejak 1998, cuma pernah patah semangat dan bertahan hanya dua tahun. Waktu itu saya masih tinggal di Yogya,” kata Sofyan saat berbincang dengan Medcom.id.
Sofyan menuturkan lukisan dengan kopi pada saat itu masih kalah pamor bila dibandingkan dengan lukisan yang dibuat menggunakan cat. Cibiran bahkan kerap datang dari kalangan seniman itu sendiri.
“Teman-teman seniman saat itu bilang, ngelukis kok enggak modal, pakai kopi. Ngelukis itu pakai cat membrane biar kelihatan modal, harganya lumayan,” kata Sofyan, menirukan kalimat kawan-kawan senimannya.
“Apalagi saat itu belum zamannya orang suka ngopi, kan,” imbuhnya.
Sofyan sendiri tidak sepakat jika melukis dengan kopi dianggap ‘tidak modal.’ Dia bilang, ada proses yang harus dilalui kopi sebelum digunakan untuk melukis.
“Jadi yang dipakai itu bukan ampas lho ya. Kopi bubuk itu kita olah dulu menjadi kopi painting, Jadi kita ambil kopi bubukan, direbus sampai mendidih, lalu diekstrak sehingga yang diambil hanya saripatinya,” terang Sofyan.
Sofyan menuturkan, semakin lama esktrak kopi disimpan, maka aromanya akan semakin harum. Demikian juga dengan hasil lukisannya yang akan semakin bagus. Kopi yang dia gunakan pun tidak sembarangan. Semakin mahal harga kopi, maka semakin mahal harga lukisannya.
“Bukan kopi sachet ya. Itu pasti jelek hasilnya karena lebih banyak kandungan air ketimbang saripatinya. Begitu juga kalau pakai ampas kopi hasilnya jelek, akan terlihat seperti kolase yang ditempel. Itu kenapa saya harus bilang saya tidak pakai ampas,” tukas dia.
Namun, meski inovasi sudah dia lakukan. Napas Sofyan masih kembang kempis lantaran upayanya tidak juga mendapat respons positif dari pasar. Kariernya sebagai pelukis kopi sempat mati suri.
“Akhirnya dari yang bertahan, karena enggak laku-laku mikir juga, kalau begini terus bisa matilah saya. Saat itu saya putuskan untuk kembali ke cat minyak,” ungkapnya.
Merantau ke Jakarta
Sejak gagal mempopulerkan lukisan dari kopi, Sofyan memutuskan merantau ke Jakarta dengan harapan bertemu banyak komunitas. Dari bergabung dengan banyak komunitas. Sofyan berharap masih ada peluang untuk kembali melukis dengan kopi. Kali ini, harapannya terkabul.

“Waktu lagi pameran dengan komunitas-komunitas di Jakarta, saya bertemu kolektor lukisan yang mengaku kecewa dengan banyak pelukis. Dia bilang sekarang banyak pelukis mengerjakan lukisan dengan digital painting, dicetak di kanvas, lalu dicat dengan minyak. Dia rupanya merasa ditipu,” kata Sofyan.
Mendengar cerita itu Sofyan seperti mendapat peluang untuk memperkenalkan karyanya.
“Saya bilang ke dia, saya punya inovasi, saya melukis pakai kopi, tapi sudah lama enggak. Dari situlah saya mulai dapat order dan dikenal,” kenang dia dengan wajah sumringah.
“Sekarang hampir setiap hari ada saja order. Jadi kalau satu bulan bisa puluhan terjual,” lanjut Sofyan, yang mengatakan lukisan termahalnya pernah dihargai hingga Rp50 juta.
Sofyan mengakui menjadi seniman harus punya napas yang kuat. Dia menekankan kepada para seniman muda mengenai pentingnya memperluas jaringan komunitas. Sedangkan untuk pemerintah, Sofyan berharap ke depan ada lebih banyak ruang pameran gratis agar seniman yang sedang merintis dapat terbantu.
“Syukur-syukur pemerintah support dana, tapi kalau enggak bisa paling tidak diberi ruang untuk pameran dan memperluas jaringan komunitasnya,” pungkas Sofyan.
Sumber: medcom.id